Jumat, 03 Mei 2019

Kesenian Sintren


(koleksi photo Abah Darto) 

SINTREN
 Jadi gini guys. Di daerah Cirebon tepatnya di desa selangit dikenal pula Kesenian Rakyat khas Cirebon yang disebut Sintren atau Ronggeng Buyung. Di desa lainnya seperti di Kali Anyar, Kreyo, Gebang, Cilukrak dan desa Tegal Pacin, Kesenian sintren ini hidup dan tampil dengan gayanya masing-masing. Jadi kaya punya ciri khas guys. 

Nah pada awalnya Sintren merupakan semacam jenis permainan anak-anak, yaitu permainan gadis cilik ditemani para pemuda di malam sedang bulan purnama. Gadis-gadis berdendang dan para pemudanya menabuh alat-alat bunyi yang sangat sederhana sebagai pengiringnya. Dalam permainannya seorang gadis di perankan sebagai penari utama yang dibantu oleh temannya berperan sebagai penari badut dan pembawa payung. Keseluruhan permainan ini dipimpin oleh salah seorang gadis yang ditunjuk para pemain lainnya, berperan sebagai dukun kecil.
Untuk mengiringi permainan ini, digunakan alat-alat bunyi yang terdiri dari, satu buah Buyung (terbuat dari bahan tanah), beberapa Lodang besar (terbuat dari potongan batang bambu bernada), dan lima buah Lodang (berukuran kecil) yang bunyi-bunyinya diatur tersusun merupakan tangga nada Salendro. Alat bunyi lainnya digunakan Keprak (terbuat dari belahan batang bambu), dan peralatan yang paling khas adalah Parupuyan (wadah perapian) untuk membakar kemenyan, serta sebuah Ranggap (kurung ayam).
Adapun fungsi dari alat-alat bunyi waditra pengiringnya yaitu; lima buah Lodang, yang disebut Kenclang, Kenclung, Kempyang, Ketuk, Kenong berfungsi sebagai Gong. Lodang-lodang tersebut dibunyikan dengan cara dipukul-pukulkan (ditumbuk-tumbuk) pada sebuah alas kayu berbentuk persegi panjang.
Sobat sobat Tripel 3 art. Permainan  ini dimulai dengan menampilkan penari cilik yang mengenakan pakaian seperti penari Serimpi. Pada bagian kepalanya memakai ikat kepala berhiaskan rawis-rawis disebelah kiri dan kanan. Sedangkan untuk lebih berkonsentrasi dalam memusatkan perhatiannya, ia memakai kacamata hitam.
Setelah dukun kecil membakar kemenyan disertai pembacaan mantera-mantera, para gadis lainnya menjemput penari Sintren (penari utama) sambil menyanyikan lagu pembukaan yaitu lagu wawar. Lagu ini merupakan lagu bubuka sebagai tanda pemberitahuan bahwa permainan Sintren akan segera dimulai.
Dengan disaksikan para penonton yang berada di tempat arena permainan, penari kecil yang telah berpakaian lengkap itu, seluruh anggota badannya diikat menggunakan tali-tali yang panjang sehingga ia tidak dapat bergerak lagi. Setelah terikat erat, si penari diarak oleh para gadis lainnya mengelilingi arena permainan, lalu dimasukan ke dalam Ranggap yang ditutupi kain penutup.
Permainan dilanjutkan dengan menyanyi bersama oleh para gadis lainnya dalam lagu Turun Sintren, Widadari, Nger-ger Kembang Mawar dll. Dukun cilik bergerak mengelilingi Ranggap (tempat penari) sambil memegang tempat parupuyan dan meniup-niupkan kepulan asapnya. Selanjutnya dukun cilik mengajak penari badut untuk membuka rangkap dan tutup kainnya. Setelah terbuka ternyata penari Sintren yang seluruh anggota badannya terikat erat itu, telah terlepas dari ikatannya. Seluruh penonton riuh bersorak sambil bertepuk tangan, berakhirlah permainan Sintren. Dari permainan Sintren inilah kini Sintren telah berkembang menjadi bentuk Seni Pertunjukan Rakyat. Nah guys sangat menarik kan....  Hihi.. 
Sebagai seni pertunjukan rakyat, Sintren telah hidup berkembang bukan saja di daerah asalnya Cirebon, namun kesenian Sintren terdapat pula di daerah Indramayu, Kuningan, Majalengka, Subang dll. Bahkan pada tahun 1989, Sintren pernah di pergelarkan di Universitas California Santa Cruz, diprakarsai oleh DR. Kathy Polley (Direktur Departemen Teater di UCSC). Pertunjukan Sintren tersebut dimainkan oleh para mahasiswa UCSC atas arahan dan pelatihan DR. Kathy Polley bersama seniman sunda Undang Sumarna yang telah lama bermukim di Amerika, tepatnya di Santa Cruz. 
Seru kan guys baca nyaa hehe..  Kayanya serius amat hehe..  


Penulis : Meidasari
Koleksi foto : Abah Darto
Sumber : Buku Ragam Cipta karya Atik Sopandi dkk.

2 komentar: