Senin, 20 Mei 2019

Kesenian Bajidoran

(Koleksi photo Nina Amelia) 


   Bajidoran adalah bentuk kesenian rakyat yang tumbuh dan berkembang di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa Barat, khususnya di daerah Subang dan Karawang.

   Tanda-tanda kemunculan bajidoran diduga tumbuh sekitar tahun 1950-an, diawali dengan maraknya pertunjukan wayang golek  yang disertai tari-tarian.pada saat itu pertunjukan wayang golek sangat digandrungi  masyarakat, yang dalam pertunjukannya sering di embel-embeli dengan permintaan lagu dari para penonton.
   Pada perkembangan nya, dalam acara kliningan dalam wayang golek tersebut, muncul penonton yang sengaja menari menimpali lagu yang sedang di lantunkan, dan ternyata mereka adalah jago-jago ngibing pada ketuk tilu. Lama kelamaan sajian kliningan tersebut makin banyak sehingga pertunjukan wayang sering kali di dominasi oleh permintaan lagu.Kadang-kadang para dalang pemegang tetekon “aturan pokok dalam pedalangan” merasa kurang di hargai dan menolak pertunjukan bila permintaan lagu dari penonton tidak di batasi. Pada saat itu sering kali pertunjukan kliningan-nya, misalnya dari jam delapan hingga jam dua belas malam mempertunjukan wayang golek, sisa waktu selanjutnya hingga menjelang pajar diisi oleh kliningan. Peristiwa semacam itu di anggap kurang baik oleh beberapa kalangan, maka atas kesepakatan  para seniman dengan pembina kesenian daerah, kliningan di pisahkan dari sajian wayang golek. Perkembangan selanjut-nya kliningan menjadi bentuk kesenian mandiri yang kemudian di kenal dengan istilah bajidoran. 
    Bajidoran adalah sebutan bagi orang yang suka bajidoran, dalam arti mereka yang aktif ikut terjun di dalamnya. Diperkirakan pengertian bajidor muncul dari kependekan banjet, tanji , dan bodor (karena di dalam bajidoran terdapat lawakan). Hal itu terbukti dari tari-tarian yang diungkapkan oleh para bajidor itu mengundang gerak-gerik humor yang sering dilakukan oleh para tokoh bajidor yang masih ada sekarang, seperti Abah Gunawan, Wa Arsim, Wa Tirta, dan Wa Atut.
   Bajidoran merupakan sajian tari yang diiringi seperangkat gamelan berlaras salendro. Pelaku utama dalam pertunjukannya adalah sinden dan bajidor yang didukung oleh nayaga. Bajidor biasanya diselenggarakan dalam pesta syukuran (perkawinan,khitanan,dan sebagainya), atau acara syukuran lainnya yang berkaitan dengan upacara ritual (hajat bumi, panen, dan lain sebagainya). Yang menarik dari pertunjukan ini yaitu ada pada sosok sinden atau ronggeng yang digandrungi oleh para bajidor atau orang yang gemar menari atau ngibing di pakalangan atau dalam bahasa sunda sering diartikan mencug (arena pertunjukan), para penonton yang gemar menari memesan lagu serta memberi saweran kepada penari. Pertunjukan bajidoran umumnya digelar dalam dua bagian, yaitu pertunjukan siang dan malam hari. Sebagai tanda akan dimulainya sajian kliningan-bajidoran, disajikan musik instrumental pembukaan yang disebut tatalu. Gending ini seolah-olah memanggil dan memberi tahu khalayak bahwa pertunjukan akan dimulai. 
   Bentuk kesenian bajidoran mampu bertahan hidup karena keberadaannya yang cukup fleksibel, dapat menyerap budaya baru dalam arti budaya populer yang disukai masyarakat. Hal itu sesuai  dengan konsep adaptasi dalam orientasi ekologi budaya, bahwa bajidoran mampu beradaptasi dengan lingkungan sehingga tetap terpelihara kelangsungannya. 
Penulis : Nina Amelia (18123026) 
Sumber: Buku Bajidoran Di Karawang
                 Kontinuitas & Perubahan
Keterangan Foto: Dokumentasi pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar